19 July 2018

Menjadi 'Petani' di Pekarangan Sendiri

Siapa tak kenal Jason Mraz dengan segenap prestasinya. Namanya melambung bersama lagunya, I'mYours, yang mendunia dan ber ada di peringkat ketiga Billboard 200; membuatnya diganjar dua penghargaan Grammy. Tapi siapa yang tahu bahwa dia adalah seorang 'petani' pekarangan: mena nam ta naman lokal untuk konsumsi sendiri, dan menjadi penganjur teknik pertanian organik?

Belum lama ini, ia mengunggah foto-foto dirinya sedang memanen sayuran yang dikembangkan di pekarangan rumahnya melalui akun media sosialnya. Ia juga giat menyebarkan pengalamannya menanam buah-buahan dan sayuran sendiri, baik melalui ceramah maupun tulisan. Bahkan khusus untuk hobinya ini, ia mengambil kelas online tentang urban farming, dengan tujuan untuk mengubah halaman rumahnya menjadi lumbung pangan keluarganya.

Di halaman rumahnya, ia memiliki pohon buah-buahan dan sebidang tanah yang diolah untuk kebun sayuran. Selain itu, ia juga beternak ayam dan membuat kompos sendiri. Mraz menyatakan keterbatasan lahan bukan alasan untuk tidak bertanam. "Urban farming atau pertanian perkotaan adalah tentang membuat hasil maksimal dari sebidang tanah kecil," katanya. Penyanyi yang juga dikenal sebagai seorang vegetarian ini tak sungkan menye but dirinya pecandu makanan organik. Berkebun sendiri adalah salah satu caranya memenuhi kebutuhannya akan sayur-mayur segar bebas pestisida.

Kini di Amerika Serikat, gaya hidup seperti Jason Mraz kian banyak pengikutnya. Bah kan, seperti dilaporkan Reuters, menjadi semacam gerakan akar rumput yang pengaruhnya sampai ke Gedung Putih. Pada Oktober 2010, tak lama setelah Barack Obama berkuasa, Gedung Putih merilis foto-foto hasil panen musim gugur di kebun yang dikelola oleh Ibu Negara Michelle Obama. Selama dua periode suaminya berkuasa, Michelle konsisten menjadikan aktivitas mengajak publik AS berkebun di pekarangan sebagai salah satu agenda kegiatannya. Kini, menjelang akhir masa jabatannya, ia melaku kan tanam sayur terakhir pekan lalu.

Michelle menyatakan, gerakan yang diusungnya, Let's Move!, salah satunya diinspirasi oleh kebiasaan keluarganya berkebun. Awalnya, berkebun dijadikan cara untuk mendorong anak-anaknya gemar makan makanan sehat, antara lain sayur-mayur yang mereka tanam sendiri. "Pada akhirnya, kegiatan ini menginspirasi gerakan yang didedikasikan untuk memecahkan masalah obesitas dalam satu generasi," ujarnya, berharap agar kebiasaan berkebun diterus kan oleh ibu negara AS berikutnya.

Menurut National Gardening Asso ciation, pekarangan yang dikelola dengan baik bisa menyelamatkan separuh kebutuhan dapur pemiliknya. Bahkan, untuk rumah tangga dengan pekarangan dua kali luas rumahnya, hasilnya bisa lebih. "Jika rata-rata rumah tangga AS menghabiskan 70 dolar AS untuk kebutuhan sayur-mayur, maka sayuran segar dari pekarangan bisa mencapai jumlah 300 pon (setara 136 kg) senilai 600 dolar AS per tahun," asosiasi itu memperkirakan.

Perhematan, sudah pasti. Rata-rata rumah tangga menghabiskan 6.759 dolar AS setahun pada makanan, atau 12,6 persen dari total belanja, menurut Survei Pengeluaran Konsumen dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS. Dari jumlah itu, 756 dolar AS dihabiskan untuk buah-buahan dan sayuran, dan 2.787 dolar AS pada kebiasaan makan di luar. Namun manfaat berkebun lebih dari se kadar uang, seperti diungkap aktris dan model asal Inggris Liz Hurley yang juga gemar berkebun. Kepuasan batin menikmati apa yang alam suguhkan di halaman rumah kita, katanya, lebih dari segalanya.

Itu sebabnya disela kesibukannya, ia menyempatkan waktu untuk bertanam dan beternak. Bahkan seperti dilaporkan Huffington Post, di sekitar rumahnya seluas 400 acre atau setara 161,8 hektare, ia tak hanya bertanam tanaman organik tapi juga memelihara domba, sapi, dan alpaca. "Saya dan keluarga menikmati melihat berapa banyak yang bisa ditumbuhkan di kebun kami sendiri," katanya, mengaku berkebun di halaman rumah sendiri adalah tradisi turun-menurun keluarganya.

Jadi tren global

Pertanian dan pertumbuhan kota selama ini dianggap saling berlawanan. Lahan yang subur kerapkali dikorbankan untuk membangun apartemen bertingkat tinggi atau jalan baru.

Tapi paradigma ini mungkin berubah. Ada tren yang kini berkembang di perkotaan di banyak negara yaitu model urban farming alias pertanian perkotaan, di mana ruang yang belum terpakai dimanfaatkan untuk mena nam sayuran, herbal, dan tanaman lainnya. Tren ini dimulai pada 1990-an dan meningkat pesat pada milenium ini. Jangan heran jika di sudut kota London atau New York yang sibuk, sepetak kebun dengan aneka sayur-mayur segar mencuat, bisa di lahan kosong atau di lantai paling atas gedung bertingat.

Bahkan di beberapa negara, sebut contoh Jepang, mulai mengembangkan proyek teknologi tinggi untuk mendukung gerakan ini. Setelah gempa bumi di Tohuko tahun 2011, bagian bangunan tidak terpakai dari pabrik Fujitsu dijadikan model untuk memberi contoh pertanian vertikal dalam ruangan ke seluruh negeri. Alih-alih membuka gedung untuk menampung sinar matahari, mereka memanfaatkan cahaya lampu yang direka yasa untuk bertanam selada. Kelangkaan air bukan masalah, karena mereka menggunakan teknologi tertentu untuk menghasilkan embun yang menjamin tanaman tetap terhidrasi, dan tentu saja menjamin hemat penggunaan air. Di gedung yang tak seberapa luas namun terdiri dari beberapa tingkat ini tiap hari dipanen 3.500 pokok selada.

Teknologi yang sama digunakan untuk mengembangkan pertanian vertikal di bekas pabrik Sony yang kini sudah tak terpakai. Dengan teknik modifikasi hidroponik, tiap hari petani perkotaan yang memanfaatkan gedung itu memanen 10 ribu polok selada. Di London Selatan, pertanian perkotaan dikembangkan di bekas terowongan yang awalnya dirancang untuk melindungi warga selama Perang Dunia I. Saat ini, mereka menumbuhkan apa yang disebut dengan microgreen, yaitu tunas aneka dedaunan untuk salad. Di New Jersey, AS, warga memanfaatkan lahan bekas lapangan sepakbola seluas hampir 6.500 m2 untuk mengembangkan pertanian hemat air.

Sedang warga yang memiliki halaman cukup luas, mereka mengembangkan apa yang dinamakan teknik permakultur, yaitu penggabungan desain ekologis, teknik ekologis, dan desain lingkungan yang mengembangkan arsitektur berkelanjutan dan sistem pertanian swadaya berdasarkan ekosistem alam. Inti dari permakultur adalah peduli bumi, sesama, dan mengembalikan hasil pertanian ke dalam sistem lestari, termasuk mengem balikan limbahnya dengan daur ulang. Di Indonesia, konsep ini dikenal dengan istilah wanatani, yaitu pendekatan terintegrasi dari pemanfaatan interaksi antara pohon dan semak dengan tanaman pertanian dan atau hewan ternak. Wanatani mengkombinasikan teknologi pertanian dan kehutanan untuk merekayasa sistem penggunaan lahan yang lebih beragam, produktif, menguntungkan, sehat, dan berkelanjutan.
Apa yang dikembangkan Jason Mraz adalah perwujudan teknik ini. Ia menanam pohon buah-buahan dimana dedaunan yang jatuh diolah menjadi kompos untuk memupuk tanaman sayurannya, setelah dicampur kotoran unggas yang dipeliharanya. Sedang sisa-sisa olahan dapur didaur ulang dengan dijadikan sebagai pakan unggasnya.

Pada perkembangannya, hasil pertanian pekarangan yang mengadopsi pola ini kini tak hanya dikonsumsi petani dan kelompoknya, tetapi masuk dalam pasar yang lebih luas. Seperti di Eropa, produk pertanian pekarangan kini mulai dijual di supermarket besar. Adalah jaringan supermarket asal Jerman, Real, yang mulai membeli produk hasil parmakultur petani pekarangan untuk dipasarkan di gerai mereka. Real saat ini memiliki 310 gerai yang tersebar di seluruh Jerman, 13 gerai di Turki, dan empat gerai di Romania.

Aktivitas permakultur yang menciptakan tanah yang sehat dengan ekosistem alami untuk menumbuhkan buah dan sayuran adalah salah satu alasan mereka mengadopsi hasil pertanian model ini. Sebagian produk sayuran dan daging hasil permakultur di supermarket itu dipasok oleh lahan pertanian milik Friedrich Lehmann yang sudah mengembangkan teknik ramah lingkungan ini sejak 1988.

Di Timor Leste, model permakultur kini bahkan diadopsi negara. Menggandeng lembaga swadaya masyarakat Permatil sebagai mitra, pemerintah negara yang sebelumnya merupakan bagian Republik Indonesia ini melatih petani kopi untuk mengembangkan sistem permakultur, sistem mandiri dan merupakan model pertanian berkelanjutan itu.

Tak hanya itu, permakultur juga dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di negara itu. Mereka juga membuat panduan permakultur yang sesuai untuk petani di negara-negara berkembang beriklim tropis."Ini benar-benar sebuah lompatan, merupakan langkah di atas Australia," ujar Emily Gray, relawan Permatil.

Pertanian mendominasi ekonomi Timor Leste, dengan menguasai sekitar 25 persen PDB dan menyerap 75 persen lapangan pekerjaan. Hingga 2011, Indeks Pembangun an Manusia PBB mencatat peringkat Timor Leste pada posisi 147 dari 187 negara. Se banyak 37 persen dari penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Petani miskin selama ini kesulitan meng akses benih dan pupuk yang harganya kadang terlalu mahal buat mereka. "Permakultur dan pertanian organik memberikan mereka alternatif untuk mengelola pertanian mereka dengan cara yang lebih baik dengan biaya yang lebih murah," kata Gray. Hasilnya, banyak petani yang kini berdaya. Bahkan, melalui koperasi yang mereka dirikan, para petani mengekspor biji kopi ke Australia di bawah nama WithOneBean.

Keuntungan penjualan digunakan untuk memperbarui buku panduan, terutama ditujukan untuk petani di perdesaan yang umumnya buta huruf. Hasilnya, lahirlah buku 500 halaman yang memuat 2.000 ilustrasi rinci yang secara visual mengajarkan tentang keterampilan dan pengetahuan permakultur. Kini buku itu juga dijadikan pegangan bagi petani di Fiji dan Vanuatu di Afrika yang juga buta huruf. "Informasi di dalamnya sangat relevan dan universal karena menggunakan bahasa gambar," tambah Gray.
Namun apapun teknik yang digunakan, seperti kata Michelle Obama, menjadikan bertanam sebagai gaya hidup adalah hal yang sangat positif. "Karena akan sangat bermakna ketika Anda tahu dari mana makanan Anda berasal, sehingga Anda mungkin akan sedikit lebih tertarik untuk makan sayuran dan memulai gaya hidup sehat," katanya. Oleh Siwi Tri Puji B.

[ Sumber : www.republika.co.id ]

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Scholarship Information :

Posting Terkini di e-Newsletter Disdik :

Arsitektur today :