Siapa tak kenal Jason Mraz dengan segenap prestasinya.
Namanya melambung bersama lagunya, I'mYours, yang mendunia dan ber ada di peringkat ketiga Billboard 200;
membuatnya diganjar dua penghargaan Grammy. Tapi siapa yang tahu bahwa dia
adalah seorang 'petani' pekarangan: mena nam ta naman lokal untuk konsumsi
sendiri, dan menjadi penganjur teknik pertanian organik?
Belum
lama ini, ia mengunggah foto-foto dirinya sedang memanen sayuran yang dikembangkan di pekarangan rumahnya melalui
akun media sosialnya. Ia juga giat menyebarkan pengalamannya menanam
buah-buahan dan sayuran sendiri, baik melalui ceramah maupun tulisan. Bahkan
khusus untuk hobinya ini, ia mengambil kelas online tentang urban farming,
dengan tujuan untuk mengubah halaman rumahnya menjadi lumbung pangan
keluarganya.
Di
halaman rumahnya, ia memiliki pohon buah-buahan dan sebidang tanah yang diolah
untuk kebun sayuran. Selain itu, ia juga beternak ayam dan membuat kompos
sendiri. Mraz menyatakan keterbatasan lahan bukan alasan untuk tidak bertanam.
"Urban farming atau pertanian perkotaan adalah tentang membuat hasil
maksimal dari sebidang tanah kecil," katanya. Penyanyi yang juga dikenal
sebagai seorang vegetarian ini tak sungkan menye but dirinya pecandu makanan
organik. Berkebun sendiri adalah salah satu caranya memenuhi kebutuhannya akan
sayur-mayur segar bebas pestisida.
Kini di Amerika Serikat, gaya hidup seperti Jason Mraz kian banyak pengikutnya. Bah kan,
seperti dilaporkan Reuters, menjadi semacam gerakan akar rumput yang
pengaruhnya sampai ke Gedung Putih. Pada Oktober 2010, tak lama setelah Barack
Obama berkuasa, Gedung Putih merilis foto-foto
hasil panen musim gugur di kebun yang dikelola oleh Ibu Negara Michelle Obama.
Selama dua periode suaminya berkuasa, Michelle konsisten menjadikan aktivitas
mengajak publik AS berkebun di pekarangan sebagai salah satu agenda
kegiatannya. Kini, menjelang akhir masa jabatannya, ia melaku kan tanam sayur
terakhir pekan lalu.
Michelle menyatakan, gerakan yang diusungnya, Let's Move!, salah satunya diinspirasi oleh kebiasaan keluarganya berkebun. Awalnya, berkebun dijadikan cara untuk mendorong anak-anaknya gemar makan makanan sehat, antara lain sayur-mayur yang mereka tanam sendiri. "Pada akhirnya, kegiatan ini menginspirasi gerakan yang didedikasikan untuk memecahkan masalah obesitas dalam satu generasi," ujarnya, berharap agar kebiasaan berkebun diterus kan oleh ibu negara AS berikutnya.
Michelle menyatakan, gerakan yang diusungnya, Let's Move!, salah satunya diinspirasi oleh kebiasaan keluarganya berkebun. Awalnya, berkebun dijadikan cara untuk mendorong anak-anaknya gemar makan makanan sehat, antara lain sayur-mayur yang mereka tanam sendiri. "Pada akhirnya, kegiatan ini menginspirasi gerakan yang didedikasikan untuk memecahkan masalah obesitas dalam satu generasi," ujarnya, berharap agar kebiasaan berkebun diterus kan oleh ibu negara AS berikutnya.
Menurut National Gardening Asso ciation, pekarangan yang
dikelola dengan baik bisa menyelamatkan separuh kebutuhan dapur pemiliknya.
Bahkan, untuk rumah tangga dengan pekarangan dua kali luas rumahnya, hasilnya
bisa lebih. "Jika rata-rata rumah tangga AS menghabiskan 70 dolar AS untuk
kebutuhan sayur-mayur, maka sayuran segar dari pekarangan bisa mencapai jumlah
300 pon (setara 136 kg) senilai 600 dolar AS per tahun," asosiasi itu
memperkirakan.
Perhematan, sudah pasti. Rata-rata rumah tangga menghabiskan
6.759 dolar AS setahun pada makanan, atau 12,6 persen dari total belanja,
menurut Survei Pengeluaran Konsumen dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS. Dari
jumlah itu, 756 dolar AS dihabiskan untuk buah-buahan dan sayuran, dan 2.787
dolar AS pada kebiasaan makan di luar. Namun manfaat berkebun lebih dari se
kadar uang, seperti diungkap aktris dan model asal Inggris Liz Hurley yang juga
gemar berkebun. Kepuasan batin menikmati apa yang alam suguhkan di halaman rumah
kita, katanya, lebih dari segalanya.
Itu sebabnya disela kesibukannya, ia menyempatkan waktu untuk
bertanam dan beternak. Bahkan seperti dilaporkan Huffington Post, di sekitar
rumahnya seluas 400 acre atau setara 161,8 hektare, ia tak hanya bertanam tanaman
organik tapi juga memelihara domba, sapi, dan alpaca. "Saya dan keluarga
menikmati melihat berapa banyak yang bisa ditumbuhkan di kebun kami
sendiri," katanya, mengaku berkebun di halaman rumah sendiri adalah
tradisi turun-menurun keluarganya.
Jadi tren global
Pertanian dan pertumbuhan kota selama ini dianggap saling
berlawanan. Lahan yang subur kerapkali dikorbankan untuk membangun apartemen
bertingkat tinggi atau jalan baru.
Tapi paradigma ini mungkin berubah. Ada tren yang kini
berkembang di perkotaan di banyak negara yaitu model urban farming alias
pertanian perkotaan, di mana ruang yang belum terpakai dimanfaatkan untuk mena
nam sayuran, herbal, dan tanaman lainnya. Tren ini dimulai pada 1990-an dan
meningkat pesat pada milenium ini. Jangan heran jika di sudut kota London atau
New York yang sibuk, sepetak kebun dengan aneka sayur-mayur segar mencuat, bisa
di lahan kosong atau di lantai paling atas gedung bertingat.
Bahkan di beberapa negara, sebut contoh Jepang, mulai
mengembangkan proyek teknologi tinggi untuk mendukung gerakan ini. Setelah
gempa bumi di Tohuko tahun 2011, bagian bangunan tidak terpakai dari pabrik
Fujitsu dijadikan model untuk memberi contoh pertanian vertikal dalam ruangan
ke seluruh negeri. Alih-alih membuka gedung untuk menampung sinar matahari,
mereka memanfaatkan cahaya lampu yang direka yasa untuk bertanam selada.
Kelangkaan air bukan masalah, karena mereka menggunakan teknologi tertentu
untuk menghasilkan embun yang menjamin tanaman tetap terhidrasi, dan tentu saja
menjamin hemat penggunaan air. Di gedung yang tak seberapa luas namun terdiri
dari beberapa tingkat ini tiap hari dipanen 3.500 pokok selada.
Teknologi yang sama digunakan untuk mengembangkan pertanian
vertikal di bekas pabrik Sony yang kini sudah tak terpakai. Dengan teknik
modifikasi hidroponik, tiap hari petani perkotaan yang memanfaatkan gedung itu
memanen 10 ribu polok selada. Di London Selatan, pertanian perkotaan
dikembangkan di bekas terowongan yang awalnya dirancang untuk melindungi warga
selama Perang Dunia I. Saat ini, mereka menumbuhkan apa yang disebut dengan
microgreen, yaitu tunas aneka dedaunan untuk salad. Di New Jersey, AS, warga
memanfaatkan lahan bekas lapangan sepakbola seluas hampir 6.500 m2 untuk
mengembangkan pertanian hemat air.
Sedang warga yang memiliki halaman cukup luas, mereka
mengembangkan apa yang dinamakan teknik permakultur, yaitu penggabungan desain
ekologis, teknik ekologis, dan desain lingkungan yang mengembangkan arsitektur
berkelanjutan dan sistem pertanian swadaya berdasarkan ekosistem alam. Inti
dari permakultur adalah peduli bumi, sesama, dan mengembalikan hasil pertanian
ke dalam sistem lestari, termasuk mengem balikan limbahnya dengan daur ulang.
Di Indonesia, konsep ini dikenal dengan istilah wanatani, yaitu pendekatan
terintegrasi dari pemanfaatan interaksi antara pohon dan semak dengan tanaman
pertanian dan atau hewan ternak. Wanatani mengkombinasikan teknologi pertanian
dan kehutanan untuk merekayasa sistem penggunaan lahan yang lebih beragam,
produktif, menguntungkan, sehat, dan berkelanjutan.
Apa yang dikembangkan Jason Mraz adalah perwujudan teknik ini.
Ia menanam pohon buah-buahan dimana dedaunan yang jatuh diolah menjadi kompos
untuk memupuk tanaman sayurannya, setelah dicampur kotoran unggas yang
dipeliharanya. Sedang sisa-sisa olahan dapur didaur ulang dengan dijadikan
sebagai pakan unggasnya.
Pada perkembangannya, hasil pertanian pekarangan yang mengadopsi
pola ini kini tak hanya dikonsumsi petani dan kelompoknya, tetapi masuk dalam
pasar yang lebih luas. Seperti di Eropa, produk pertanian pekarangan kini mulai
dijual di supermarket besar. Adalah jaringan supermarket asal Jerman, Real,
yang mulai membeli produk hasil parmakultur petani pekarangan untuk dipasarkan
di gerai mereka. Real saat ini memiliki 310 gerai yang tersebar di seluruh
Jerman, 13 gerai di Turki, dan empat gerai di Romania.
Aktivitas permakultur yang menciptakan tanah yang sehat dengan
ekosistem alami untuk menumbuhkan buah dan sayuran adalah salah satu alasan
mereka mengadopsi hasil pertanian model ini. Sebagian produk sayuran dan daging
hasil permakultur di supermarket itu dipasok oleh lahan pertanian milik
Friedrich Lehmann yang sudah mengembangkan teknik ramah lingkungan ini sejak
1988.
Di Timor Leste, model permakultur kini bahkan diadopsi negara.
Menggandeng lembaga swadaya masyarakat Permatil sebagai mitra, pemerintah
negara yang sebelumnya merupakan bagian Republik Indonesia ini melatih petani
kopi untuk mengembangkan sistem permakultur, sistem mandiri dan merupakan model
pertanian berkelanjutan itu.
Tak hanya itu, permakultur juga dimasukkan dalam kurikulum
pendidikan di negara itu. Mereka juga membuat panduan
permakultur yang sesuai untuk petani di negara-negara berkembang beriklim
tropis."Ini benar-benar sebuah lompatan, merupakan langkah di atas
Australia," ujar Emily Gray, relawan Permatil.
Pertanian mendominasi ekonomi Timor Leste, dengan menguasai
sekitar 25 persen PDB dan menyerap 75 persen lapangan pekerjaan. Hingga 2011,
Indeks Pembangun an Manusia PBB mencatat peringkat Timor Leste pada posisi 147
dari 187 negara. Se banyak 37 persen dari penduduk masih hidup di bawah garis
kemiskinan.
Petani miskin selama ini kesulitan meng akses benih dan pupuk yang
harganya kadang terlalu mahal buat mereka. "Permakultur dan pertanian
organik memberikan mereka alternatif untuk mengelola pertanian mereka dengan
cara yang lebih baik dengan biaya yang lebih murah," kata Gray. Hasilnya,
banyak petani yang kini berdaya. Bahkan, melalui koperasi yang mereka dirikan,
para petani mengekspor biji kopi ke Australia di bawah nama WithOneBean.
Keuntungan penjualan digunakan untuk memperbarui buku panduan,
terutama ditujukan untuk petani di perdesaan yang umumnya buta huruf. Hasilnya,
lahirlah buku 500 halaman yang memuat 2.000 ilustrasi rinci yang secara visual
mengajarkan tentang keterampilan dan pengetahuan permakultur. Kini buku itu
juga dijadikan pegangan bagi petani di Fiji dan Vanuatu di Afrika yang juga
buta huruf. "Informasi di dalamnya sangat relevan dan universal karena
menggunakan bahasa gambar," tambah Gray.
Namun apapun teknik yang digunakan, seperti kata Michelle Obama,
menjadikan bertanam sebagai gaya hidup adalah hal yang sangat positif.
"Karena akan sangat bermakna ketika Anda tahu dari mana makanan Anda
berasal, sehingga Anda mungkin akan sedikit lebih tertarik untuk makan sayuran
dan memulai gaya hidup sehat," katanya. Oleh Siwi Tri Puji B.
[ Sumber : www.republika.co.id ]
No comments:
Post a Comment