02 December 2012

ICT dalam Proses Pembelajaran Membodohi Peserta Didik ?

Oleh : Ariasdi
Widyaiswara Bidang ICT LPMP  Prov. Sumatera Barat

Nyaris satu tahun saya tidak memperbarui laman ini. Rutinitas kantor dan pelaksanaan kegiatan di lapangan membuat nafsu untuk membuat tulisan jadi berkurang. Walaupun saya singgahi, paling untuk melihat statistik pengunjung, apakah masih ada yang mampir atau bahkan blog ini telah dilupakan sama sekali. Namun Alhamdulillah, komentar dari beberapa tulisan tetap berdatangan, sehingga niat untuk menghapus blog ini dari dunia maya terbuyarkan.

Mengapa sekarang tiba-tiba ingin menulis lagi? Ada yang spesial?

Sebenarnya tidak, kalau saja salah seorang Dekan dari sebuah Fakultas di Universitas ternama di kota saya tidak mengeluarkan beberapa kalimat yang mengagetkan. Dalam sebuah pertemuan terbatas yang juga dihadiri Pak Dekan tersebut menyimpulkan bahwa sebanarnya Pembelajaran Berbasis ICT membodohi siswa. Guru sebaiknya memberikan pengalaman nyata dalam proses pembelajaran. Orientasinya salah satu negara maju di Asia, yang sama sekali menghindari memberikan pembelajaran dengan pendekatan ICT. Setidaknya itu kesimpulan yang diterima Pak Dekan dari beberapa tokoh pendidikan dari luar negeri dalam sebuah acara. Pembelajaran dengan menggunakan ICT, lanjutnya, hanya memberikan dunia semu kepada siswa. Tidak realistis.

Pernyataan Pak Dekan di atas hampir hilang dari memori saya karena sudah berlalu sekitar empat bulan. Namun seminggu yang lalu, kalimat Pak Dekan tersebut menjadi meradang kembali, karena pernyataan yang sama juga dilontarkan oleh salah satu pejabat Kabupaten di Provinsi Sumbar dalam pembukaan acara Pelatihan Pembuatan Media Pembelajaran Berbasis ICT yang dihadiri oleh perwakilan guru SLTP di Kabupaten tersebut. Saya sendiri duduk di samping Beliau karena saya dihadiri sebagai narasumber. Saya memiliki kesempatan untuk menjelaskan posisi ICT dalam proses pembelajaran, namun Pak Pejabat keburu pamit setelah acara pembukaan, mengetuk mik tiga kali (karena palu tidak disediakan) dan menyantap hidangan kecil serta mereguk minuman kemasan gelas plastik, tanpa sedikitpun mengikuti acara yang baru saja dibukanya. Ahh…

Masih Perlukah ICT dalam Proses Pembelajaran di Kelas?

Jawabannya tidak sesederhana itu. Apalagi menyimpulkan berdasarkan argumentasi dengan kacamata kuda. Yang terjadi sekarang merupakan kelanjutan sejarah yang digoreskan di masa lalu beserta pelaku-pelakunya di dunia pendidikan. Artinya, yang terjadi sekarang adalah proses evolusi dan revolusi manusia dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran.

Berbicara tentang Pengelolaan Pembelajaran di Kelas sama artinya membahas Teknologi Pembelajaran (selanjutnya ditulis: TP). Istilah terakhir juga banyak disalahartikan dengan menyamataraan TP dengan ICT dalam Pembelajaran. Mungkin karena ada kata ‘teknologi’ didalamnya. Padahal TP merupakan ranah telaah seorang pendidik dalam mengembangkan metode didaktiknya ketika mengantar sebuah kompetensi, baik kognitif, afektif dan psikomotorik secara keseluruhan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan penilaian. Teknologi yang digunakan tentu saja disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, lingkungan, budaya, maupun keterbatasan sarana dan prasarana. Dengan demikian, seorang pendidik wajib hukumnya mengembangkan metodologi pembelajarannya sendiri karena merekalah yang paham karakteristik-karakteristik di atas. Artinya, sebuah kompetansi yang diajarkan tentu saja akan berbeda metode pembelajaran, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) serta medianya.

Teknologi Pembelajaran terus berkembang menurut zamannya. Yang pernah dicatat sejarah melalui prasasti maupun Kitab-Kitab Suci adalah perkembangan TP yang diawali oleh Para Nabi dan Rasul. Beliaulah yang pertama kali menjadi Guru di alam semesta ini. Beliau memulai pembelajaran kepada murid-muridnya sepanjang hari, setiap saat dan sepanjang jalan, karena mereka sama-sama nomaden dan gemar berkelana. Tiga ranah dalam Taksonomi Bloom sudah ada pada saat itu. Teknologi yang digunakan tentu saja sesuai dengan karakteristik peserta didik, lingkungan, budaya, maupun keterbatasan sarana dan prasarana. Kegiatan pembelajarannya lebih kepada Pendidikan Informal.

Keadaan di atas akhirnya diubah oleh seorang pemuda dari Stagira, Yunani, bernama Aristoteles yang lahir pada tahun 384 SM. Dengan bantuan Sultan Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great) yang masih berkuasa, beliau mendirikan akademi di Athena yang diberi nama Lyceum, dari kurun 336 SM sampai 323 SM. Arostoteles sendiri mengembangkan akademi ini setelah digodok sebelumnya di Akademi Plato. Sebelumnya, Plato menimba ilmu dari Socrates. Akademi-akademi inilah medel dari sekolah formal pertama kali di dunia. Pembelajaran mulai dilaksanakan dalam ruangan (indoor).


 
Pembelajaran dalam ruang (indoor) memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan pembelajaran yang dilaksanakan di luar ruang (outdoor). Seluruh ilmu pengetahuan yang bertaburan di alam raya harus diciutkan sekecil mungkin supaya bisa berada di dalam ruangan untuk dipelajari. Berkembanglah pada saat itu penemuan rumus-rumus eksakta dan non-eksakta yang dapat ditulis sekecil-kecilnya ke bentuk tulisan dan diuraikan kembali panjang lebar di dalam kelas agar siswa mengenal kontekstual materi ajar tersebut di dunia nyata. Konsep inilah yang kita anut sekarang di sekolah-sekolah di seantero dunia pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya.

Pendidikan Formal tentu saja memiliki keterbatasan. Salah satunya adalah pengalaman empiris peserta didik dalam sebuah kompetensi tertentu. Tidak mungkin peserta didik mendapatkan peristiwa gunung meletus di dalam kelas. Tidak mungkin menghadirkan kronologis terciptanya energi di permukaan bumi dari sumber energi matahari dalam dalam kurun waktu dua kali empat puluh lima menit (satu kali pertemuan). Akan sangat mustahil lagi melihat peristiwa peredaran darah dalam tubuh makhluk hidup. Demikian juga jika ingin menyaksikan dan menelaah sebuah kejadian yang telah berlalu atau belangsung melebihi kecepatan cahaya. Dengan apa coba??? Terlalu singkat hidup ini, yang rata-rata umur kehidupan manusia 60 tahunan untuk belajar itu semua dengan mengalaminya sendiri. Semua kejadian tersebut sudah dirumuskan. Teknik penyajiannya yang perlu disesuaikan dengan teknologi kekinian. Disilah peran ICT dengan Multimedia-nya berperan vital. Tinggal kemampuan individual pendidik untuk menempatkannya dengan cerdas, mana proses pembelajaran yang dapat dilaksanakan dengan melibatkan pengalaman langsung, atau harus dijawab dengan sentuhan ICT.

Semoga Pak Dekan dan Pak Pejabat di atas membaca tulisan saya ini. Atau mungkin statement tersebut sebagai bentuk kefrustrasian karena keteteran melihat revolusi di dunia ICT sangat pesat dewasa ini, akhirnya membenarkan saja apa yang dilontarkan pakar dari luar negeri tersebut. Atau mungkin bukan begitu maksud Pak Dekan dan Pak Pejabat tersebut. Entahlah…

Salam ICT, Guruku. Terus kembangkan Teknologi Pendidikannya, agar tidak usang dan lusuh di mata peserta didik yang jauh lebih cerdas dan terbuka menerima ICT untuk kegiatan sehari-hari.***

[Sumber : http://ariasdimultimedia.wordpress.com/]

-->

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Scholarship Information :

Posting Terkini di e-Newsletter Disdik :

Arsitektur today :