Oleh : Ariasdi
Widyaiswara Bidang ICT LPMP Prov. Sumatera Barat
Nyaris satu tahun saya tidak memperbarui
laman ini. Rutinitas kantor dan pelaksanaan kegiatan di lapangan membuat
nafsu untuk membuat tulisan jadi berkurang. Walaupun saya singgahi,
paling untuk melihat statistik pengunjung, apakah masih ada yang mampir
atau bahkan blog ini telah dilupakan sama sekali. Namun Alhamdulillah,
komentar dari beberapa tulisan tetap berdatangan, sehingga niat untuk
menghapus blog ini dari dunia maya terbuyarkan.
Mengapa sekarang tiba-tiba ingin menulis lagi? Ada yang spesial?
Sebenarnya tidak, kalau saja salah
seorang Dekan dari sebuah Fakultas di Universitas ternama di kota saya
tidak mengeluarkan beberapa kalimat yang mengagetkan. Dalam sebuah
pertemuan terbatas yang juga dihadiri Pak Dekan tersebut menyimpulkan
bahwa sebanarnya Pembelajaran Berbasis ICT membodohi siswa. Guru
sebaiknya memberikan pengalaman nyata dalam proses pembelajaran.
Orientasinya salah satu negara maju di Asia, yang sama sekali
menghindari memberikan pembelajaran dengan pendekatan ICT. Setidaknya
itu kesimpulan yang diterima Pak Dekan dari beberapa tokoh pendidikan
dari luar negeri dalam sebuah acara. Pembelajaran dengan menggunakan
ICT, lanjutnya, hanya memberikan dunia semu kepada siswa. Tidak
realistis.
Pernyataan Pak Dekan di atas hampir
hilang dari memori saya karena sudah berlalu sekitar empat bulan. Namun
seminggu yang lalu, kalimat Pak Dekan tersebut menjadi meradang kembali,
karena pernyataan yang sama juga dilontarkan oleh salah satu pejabat
Kabupaten di Provinsi Sumbar dalam pembukaan acara Pelatihan Pembuatan
Media Pembelajaran Berbasis ICT yang dihadiri oleh perwakilan guru SLTP
di Kabupaten tersebut. Saya sendiri duduk di samping Beliau karena saya
dihadiri sebagai narasumber. Saya memiliki kesempatan untuk menjelaskan
posisi ICT dalam proses pembelajaran, namun Pak Pejabat keburu pamit
setelah acara pembukaan, mengetuk mik tiga kali (karena palu tidak
disediakan) dan menyantap hidangan kecil serta mereguk minuman kemasan
gelas plastik, tanpa sedikitpun mengikuti acara yang baru saja
dibukanya. Ahh…
Masih Perlukah ICT dalam Proses Pembelajaran di Kelas?
Jawabannya tidak sesederhana itu. Apalagi
menyimpulkan berdasarkan argumentasi dengan kacamata kuda. Yang terjadi
sekarang merupakan kelanjutan sejarah yang digoreskan di masa lalu
beserta pelaku-pelakunya di dunia pendidikan. Artinya, yang terjadi
sekarang adalah proses evolusi dan revolusi manusia dalam mengelola
pendidikan dan pembelajaran.
Berbicara tentang Pengelolaan
Pembelajaran di Kelas sama artinya membahas Teknologi Pembelajaran
(selanjutnya ditulis: TP). Istilah terakhir juga banyak disalahartikan
dengan menyamataraan TP dengan ICT dalam Pembelajaran. Mungkin karena
ada kata ‘teknologi’ didalamnya. Padahal TP merupakan ranah telaah
seorang pendidik dalam mengembangkan metode didaktiknya ketika mengantar
sebuah kompetensi, baik kognitif, afektif dan psikomotorik secara
keseluruhan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan penilaian.
Teknologi yang digunakan tentu saja disesuaikan dengan karakteristik
peserta didik, lingkungan, budaya, maupun keterbatasan sarana dan
prasarana. Dengan demikian, seorang pendidik wajib hukumnya
mengembangkan metodologi pembelajarannya sendiri karena merekalah yang
paham karakteristik-karakteristik di atas. Artinya, sebuah kompetansi
yang diajarkan tentu saja akan berbeda metode pembelajaran, Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) serta medianya.
Teknologi Pembelajaran terus berkembang
menurut zamannya. Yang pernah dicatat sejarah melalui prasasti maupun
Kitab-Kitab Suci adalah perkembangan TP yang diawali oleh Para Nabi dan
Rasul. Beliaulah yang pertama kali menjadi Guru di alam semesta ini.
Beliau memulai pembelajaran kepada murid-muridnya sepanjang hari, setiap
saat dan sepanjang jalan, karena mereka sama-sama nomaden dan gemar
berkelana. Tiga ranah dalam Taksonomi Bloom sudah ada pada saat itu.
Teknologi yang digunakan tentu saja sesuai dengan karakteristik peserta
didik, lingkungan, budaya, maupun keterbatasan sarana dan prasarana.
Kegiatan pembelajarannya lebih kepada Pendidikan Informal.
Keadaan di atas akhirnya diubah oleh
seorang pemuda dari Stagira, Yunani, bernama Aristoteles yang lahir pada
tahun 384 SM. Dengan bantuan Sultan Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great)
yang masih berkuasa, beliau mendirikan akademi di Athena yang diberi
nama Lyceum, dari kurun 336 SM sampai 323 SM. Arostoteles sendiri
mengembangkan akademi ini setelah digodok sebelumnya di Akademi Plato.
Sebelumnya, Plato menimba ilmu dari Socrates. Akademi-akademi inilah
medel dari sekolah formal pertama kali di dunia. Pembelajaran mulai
dilaksanakan dalam ruangan (indoor).
Pembelajaran dalam ruang (indoor) memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan pembelajaran yang dilaksanakan di luar ruang (outdoor).
Seluruh ilmu pengetahuan yang bertaburan di alam raya harus diciutkan
sekecil mungkin supaya bisa berada di dalam ruangan untuk dipelajari.
Berkembanglah pada saat itu penemuan rumus-rumus eksakta dan non-eksakta
yang dapat ditulis sekecil-kecilnya ke bentuk tulisan dan diuraikan
kembali panjang lebar di dalam kelas agar siswa mengenal kontekstual
materi ajar tersebut di dunia nyata. Konsep inilah yang kita anut
sekarang di sekolah-sekolah di seantero dunia pada umumnya, dan
Indonesia pada khususnya.
Pendidikan Formal tentu saja memiliki
keterbatasan. Salah satunya adalah pengalaman empiris peserta didik
dalam sebuah kompetensi tertentu. Tidak mungkin peserta didik
mendapatkan peristiwa gunung meletus di dalam kelas. Tidak mungkin
menghadirkan kronologis terciptanya energi di permukaan bumi dari sumber
energi matahari dalam dalam kurun waktu dua kali empat puluh lima menit
(satu kali pertemuan). Akan sangat mustahil lagi melihat peristiwa
peredaran darah dalam tubuh makhluk hidup. Demikian juga jika ingin
menyaksikan dan menelaah sebuah kejadian yang telah berlalu atau
belangsung melebihi kecepatan cahaya. Dengan apa coba??? Terlalu singkat
hidup ini, yang rata-rata umur kehidupan manusia 60 tahunan untuk
belajar itu semua dengan mengalaminya sendiri. Semua kejadian tersebut
sudah dirumuskan. Teknik penyajiannya yang perlu disesuaikan dengan
teknologi kekinian. Disilah peran ICT dengan Multimedia-nya berperan
vital. Tinggal kemampuan individual pendidik untuk menempatkannya dengan
cerdas, mana proses pembelajaran yang dapat dilaksanakan dengan
melibatkan pengalaman langsung, atau harus dijawab dengan sentuhan ICT.
Semoga Pak Dekan dan Pak Pejabat di atas membaca tulisan saya ini. Atau mungkin statement
tersebut sebagai bentuk kefrustrasian karena keteteran melihat revolusi
di dunia ICT sangat pesat dewasa ini, akhirnya membenarkan saja apa
yang dilontarkan pakar dari luar negeri tersebut. Atau mungkin bukan
begitu maksud Pak Dekan dan Pak Pejabat tersebut. Entahlah…
Salam ICT, Guruku. Terus kembangkan
Teknologi Pendidikannya, agar tidak usang dan lusuh di mata peserta
didik yang jauh lebih cerdas dan terbuka menerima ICT untuk kegiatan
sehari-hari.***
[Sumber : http://ariasdimultimedia.wordpress.com/]
No comments:
Post a Comment