15 January 2013

Pelatihan Guru Menyiapkan Kurikulum 2013



Oleh : Ismunandar, Direktur SEAMEO QITEP in Science Bandung

sukemi
Salah satu ciri Kurikulum 2013, yang disebut dalam dokumen uji publik, adalah nantinya pembelajaran akan mengedepankan pengalaman personal melalui observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), bertanya, asosiasi, menyimpulkan, mengkomunikasikan. Dari berbagai studi, disimpulkan bahwa pembelajaran seperti inilah yang akan meningkatkan kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa, dan yang oleh banyak pihak disebut akan mampu menyiapkan generasi yang siap dengan berbagai ketidakpastian masa depan. Namun harus kita sadari bahwa menuju pembelajaran seperti ini tidaklah mudah serta perlu upaya serius yang berkesinambungan. Di beberapa negara perubahan itu dilakukan dalam 10 -15 tahun dengan upaya yang konsisten dan kerjasama para pemangku kepentingan.

Salah satu upaya penting adalah pengembangan profesional guru. Disebutkan dalam dokumen yang sama, bahwa untuk menyiapkan implementasi kurikulum baru akan dilakukan training pada para guru. Bagaimana menyiapkan guru agar dapat mengimplementasikan ciri pembelajaran di atas? Tulisan berikut akan mencoba memberikan beberapa point penting pelatihan yang perlu dilakukan agar tujuan di atas tercapai. Point-point ini disarikan dari berbagai studi yang dilakukan di dalam dan di luar negeri, dengan mempertimbangkan kondisi awal guru kita (hasil studi TIMSS dan UKA).

Dalam bahasa yang umum digunakan, pembelajaran yang mengedepankan observasi, bertanya menyimpulkan dan mengkomunikasikan disebut dengan pembelajaran melalui inkuiri. Agar guru dapat mengimplementasikan pembelajaran inkuiri, pelatihan yang diberikan harus minimal harus memungkinkan guru: (i) melakukan sendiri kegiatan inkuiri, (ii) mendapatkan pengalaman langsung bagaimana pembelajaran terjadi (how people learn) dan peran guru dalam pembelajaran inkuiri. Dengan kata lain agar guru dapat mengimplementasikan pembelajaran yang diharapkan maka pelatihan harus dilakukan dengan pendekatan yang sama dengan cara pembelajaran yang diharapkan akan terjadi di kelas nantinya.



Selain itu dalam pelatihan harus dimasukkan juga berbagai metoda assessment yang tepat untuk memonitor kemampuan siswa dalam kemampuan-kemampuan inkuiri tersebut. Dari studi TIMSS misalnya terlihat jelas bahwa siswa-siswa kita kemapuan berfikir tingkat tingginya (High Order Thinking) masih rendah. Banyak studi menunjukkan bahwa kelemahan ini terkait erat dengan pembelajaran yang masih bersifat memindahkan informasi dari guru ke murid serta test yang hanya menguji hafalan.

Berapa lama ideal pelatihan dilakukan? Studi yang dilakukan Spovits dan Turner, yang sering dirujuk, menyatakan bahwa minimal pelatihan 80 jam diperlukan agar terjadi perubahan signifikan pada guru yang mengikuti pelatihan. Namun bergantung pada kemampuan awal guru peserta pelatihan, akan diperlukan frekuensi kegiatan lanjutan yang bervariasi. Kegiatan lanjutan pasca pelatihan dapat berupa dukungan dan kunjungan tim ahli, penyediaan sumber belajar online. Intinya agar pembelajaran yang diharapkan dapat berlangsung berkelanjutan diperlukan perubahan budaya dari pelatihan yang bersifat top down menjadi kebutuhan para guru untuk terus meningkatkan profesionalitasnya (bottom up).

Kerjasama berbagai pihak yang terkait perlu dilakukan, mengingat jumlah, kualitas, distribusi geografis dan berbagai faktor lain. Pihak yang telah terbukti perannya adalah para ilmuwan (baik yang di Perguruan Tinggi maupun yang bekerja di industri), termasuk para mahasiswa. Dalam kerjasama ini, misalnya para ilmuwan dapat menjadi tempat bertanya bagi para guru tentang penjelasan fenomena alam secara saintifik. Pengelolaan pembelajaran di kelas jelas merupakan keahlian para guru. Dengan cara seperti ini terbukti kepercayaan guru dalam mengelola pembelajaraan sains meningkat (Sumber http://www.kemdiknas.go.id/).

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Scholarship Information :

Posting Terkini di e-Newsletter Disdik :

Arsitektur today :