Oleh : Ismunandar, Direktur SEAMEO QITEP in Science Bandung
Salah satu ciri Kurikulum 2013, yang disebut dalam
dokumen uji publik, adalah nantinya pembelajaran akan mengedepankan
pengalaman personal melalui observasi (menyimak, melihat, membaca,
mendengar), bertanya, asosiasi, menyimpulkan, mengkomunikasikan. Dari
berbagai studi, disimpulkan bahwa pembelajaran seperti inilah yang akan
meningkatkan kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa, dan yang oleh
banyak pihak disebut akan mampu menyiapkan generasi yang siap dengan
berbagai ketidakpastian masa depan. Namun harus kita sadari bahwa menuju
pembelajaran seperti ini tidaklah mudah serta perlu upaya serius yang
berkesinambungan. Di beberapa negara perubahan itu dilakukan dalam 10
-15 tahun dengan upaya yang konsisten dan kerjasama para pemangku
kepentingan.
Salah satu upaya penting adalah pengembangan
profesional guru. Disebutkan dalam dokumen yang sama, bahwa untuk
menyiapkan implementasi kurikulum baru akan dilakukan training pada para
guru. Bagaimana menyiapkan guru agar dapat mengimplementasikan ciri
pembelajaran di atas? Tulisan berikut akan mencoba memberikan beberapa
point penting pelatihan yang perlu dilakukan agar tujuan di atas
tercapai. Point-point ini disarikan dari berbagai studi yang dilakukan
di dalam dan di luar negeri, dengan mempertimbangkan kondisi awal guru
kita (hasil studi TIMSS dan UKA).
Dalam bahasa yang umum digunakan, pembelajaran
yang mengedepankan observasi, bertanya menyimpulkan dan
mengkomunikasikan disebut dengan pembelajaran melalui inkuiri. Agar guru
dapat mengimplementasikan pembelajaran inkuiri, pelatihan yang
diberikan harus minimal harus memungkinkan guru: (i) melakukan sendiri
kegiatan inkuiri, (ii) mendapatkan pengalaman langsung bagaimana
pembelajaran terjadi (how people learn) dan peran guru dalam
pembelajaran inkuiri. Dengan kata lain agar guru dapat
mengimplementasikan pembelajaran yang diharapkan maka pelatihan harus
dilakukan dengan pendekatan yang sama dengan cara pembelajaran yang
diharapkan akan terjadi di kelas nantinya.
Selain itu dalam pelatihan harus dimasukkan juga berbagai metoda assessment yang tepat untuk memonitor kemampuan siswa dalam kemampuan-kemampuan inkuiri tersebut. Dari studi TIMSS misalnya terlihat jelas bahwa siswa-siswa kita kemapuan berfikir tingkat tingginya (High Order Thinking) masih rendah. Banyak studi menunjukkan bahwa kelemahan ini terkait erat dengan pembelajaran yang masih bersifat memindahkan informasi dari guru ke murid serta test yang hanya menguji hafalan.
Berapa lama ideal pelatihan dilakukan? Studi yang
dilakukan Spovits dan Turner, yang sering dirujuk, menyatakan bahwa
minimal pelatihan 80 jam diperlukan agar terjadi perubahan signifikan
pada guru yang mengikuti pelatihan. Namun bergantung pada kemampuan awal
guru peserta pelatihan, akan diperlukan frekuensi kegiatan lanjutan
yang bervariasi. Kegiatan lanjutan pasca pelatihan dapat berupa dukungan
dan kunjungan tim ahli, penyediaan sumber belajar online. Intinya agar
pembelajaran yang diharapkan dapat berlangsung berkelanjutan diperlukan
perubahan budaya dari pelatihan yang bersifat top down menjadi kebutuhan
para guru untuk terus meningkatkan profesionalitasnya (bottom up).
Kerjasama berbagai pihak yang terkait perlu
dilakukan, mengingat jumlah, kualitas, distribusi geografis dan berbagai
faktor lain. Pihak yang telah terbukti perannya adalah para ilmuwan
(baik yang di Perguruan Tinggi maupun yang bekerja di industri),
termasuk para mahasiswa. Dalam kerjasama ini, misalnya para ilmuwan
dapat menjadi tempat bertanya bagi para guru tentang penjelasan fenomena
alam secara saintifik. Pengelolaan pembelajaran di kelas jelas
merupakan keahlian para guru. Dengan cara seperti ini terbukti
kepercayaan guru dalam mengelola pembelajaraan sains meningkat (Sumber http://www.kemdiknas.go.id/).
No comments:
Post a Comment