Bagi sekolah di kota besar, berfasilitas baik, dan dilayani guru bermutu, penyediaan teknologi belajar bagi para murid merupakan kemewahan. Teknologi untuk belajar di sekolah baik merupakan unsur pelengkap atau penghias semata, bukan kebutuhan. Jika tak tersedia teknologi belajar pun, para siswa tetap dapat belajar bersama gurunya.
Namun sebaliknya, bagi sekolah apalagi masyarakat tanpa sekolah di pedalaman terpencil dan tanpa fasilitas seperti pustaka publik, mungkin pula tak memiliki guru yang memadai, maka teknologi belajar merupakan kebutuhan. Teknologi belajar bagi anak-anak di daerah terpencil merupakan keharusan.
Demikianlah paradoks dalam teknologi belajar. Di perkotaan dengan fasilitas pendidikan baik, teknologi belajar merupakan kemewahan, tetapi di pedalaman terpencil, teknologi belajar justru merupakan kebutuhan.
Anak
Saat Mendikbud Anies Baswedan mengutarakan gagasan pemanfaatan tabletatau e-sabak sebagai media belajar, beberapa pihak meragukan. Umumnya, keraguannya bersumber pada fakta infrastruktur yang belum memadai, seperti jaringan listrik dan Internet yang belum tersedia luas. Juga ada suara yang takut anak akan memanfaatkannya guna mengakses informasi tak pantas.
Lebih jauh lagi, ada yang takut bahwa pemberian sabak sebagai ganti buku ajar untuk saat ini belum mendesak, malah akan membuat perbandingan pendidikan di kota besar dengan di pelosok-pelosok semakin jomplang.
Semua pendapat bernada tak positif tersebut sahih. Hanya saja, tampaknya para pengritik tadi mengira e-sabak ini atau teknologi dalam pembelajaran ini diterapkan di perkotaan atau malah di seluruh Indonesia, secara nasional.
Banyak daerah terpinggirkan ini harus dicapai dengan berjalan kaki menembus hutan satu atau dua malam. Ada pula yang harus dicapai dengan kapal atau pesawat perintis yang tak selalu tersedia.Saat sekarang, masih banyak daerah terpencil, sulit dijangkau, terjebak konflik, atau terkena bencana. Akibatnya, anak-anak di daerah seperti ini mau tak mau harus menelan layanan pendidikan ala kadarnya. Kerap terjadi, hanya ada satu guru di satu-satunya sekolah di desa terdekat. Guru seorang itu harus mengampu pelajaran dari Agama, Bahasa Indonesia, Kimia, Matematika, sampai Olah Raga. Di beberapa daerah lain, prajurit TNI yang berinisiatif mengajar anak-anak.
Dengan keadaan seperti itu, bagaimana menyediakan pendidikan bermutu?
Dengan keadaan seperti itu, bagaimana menyediakan pendidikan bermutu?
Menyediakan guru cakap dan bergairah mengajar untuk di daerah terpencil tentu harus dilanjutkan, tetapi berapa banyak guru hebat seperti itu yang sanggup disediakan dalam waktu satu atau dua tahun ke depan? Lalu, dalam waktu dua tahun itu, apakah anak-anak yang terabaikan ini akan dibiarkan juga tak memperoleh layanan pendidikan bermutu?
Sungguh tak pantas sebenarnya di abad ke-21 ini masih ada anak-anak kita yang belum memperoleh pendidikan wajar. Padahal, teman-temannya di Kebayoran, Jakarta, dan bahkan di Palu, Sulawesi Tengah, bersekolah dengan guru lengkap.
Oleh karenanya, gagasan penggunaan teknologi dalam pembelajaran merupakan usulan yang layak dipertimbangkan. Terlebih, kemungkinan teknologi belajar merupakan pintu peluang terbesar negara dalam upaya menyediakan kesempatan belajar bermutu bagi anak-anak terpinggirkan saat ini.
Benar bahwa di daerah terpencil belum ada infrastruktur Internet dan listrik yang memadai. Justru itu menandakan, ini saat yang tepat untuk merancangnya dengan biaya sehemat mungkin. Ini investasi pendidikan untuk 10 tahun ke depan atau lebih. Ini saatnya rekayasawan kita merekacipta sumber daya listrik alternatif murah yang memungkinkan mengisi sumber daya e-sabak. Daya surya, bayu, atau kinetik putaran tuas tangan merupakan sumber daya alternatif.
Ketiadaan jaringan Internet juga bukan masalah, karena e-sabak atau laptop dapat dimanfaatkan dengan modus offline atau luring. Dengan mempersiapkan bahan ajar dalam kartu memori, e-sabak atau laptop dapat berfungsi sebagai sumber bahan ajar dan dapat diperbaharui datanya dengan mudah secara berkala, yakni dengan mengirimkan kartu memori kecil tersebut. Ini jauh lebih mungkin dan hemat ketimbang mengirim buku ajar.
Keuntungan lain dari penggunaan e-sabak, laptop, atau bahkan ponsel cerdas ini ialah peluang melokalkan pembelajaran IPA, IPS, Matematika, dsb, seperti ke dalam Bahasa Ibu. Dengan pendekatan buku ajar tradisional, tentunya hal ini rumit dan mahal, tetapi justru menjadi mungkin diwujudkan dengan teknologi. Di Nepal, hal ini sudah diterapkan.
Guru
Jika guru di sekolah terpencil mengikuti program pelatihan di kota terdekat, maka guru akan meninggalkan sekolah dan muridnya akan terganggu. Belum lagi, isi pelatihan guru saat ini kerap belum menyentuh konsep mendalam, karena jumlah dan kapasitas widyaiswara masih kurang.
Tetapi, melalui teknologi informasi, guru dapat langsung belajar dan mempraktikkan cara membelajarkan satu topik tertentu pada waktu yang singkat, tanpa perlu meninggalkan sekolahnya. Jika harus membelajarkan perkalian bilangan bulat hari Senin, misalnya, di hari Minggu guru dapat langsung menyimak klip vidio 5-menitan bagaimana mengajarkannya. Ini hemat dan akan tepat sasaran.
Seperti juga bagi murid, bagi guru di daerah terpencil, teknologi belajar juga merupakan kebutuhan.
Upaya pemanfaatan teknologi informasi ini layak untuk dikaji lebih rinci. Kemudian, jika dianggap layak, perlu diujicoba dalam skala kecil dahulu, untuk lokasi tertentu dan satu atau dua matapelajaran saja. Ujicoba untuk pulau yang terpencil, misalnya. Piranti keras dan lunak juga perlu dipertimbangkan dan disesuaikan dengan keadaan penerapan.
Ada yang skeptis bahwa program ini akan dikorupsi. Tentu ada kemungkinannya. Bukankah buku ajar tradisional atau fasilitas pendidikan juga diselewengkan? Kurang bijak jika kita memupuskan kesempatan belajar anak-anak terpinggirkan ini, hanya karena kecurigaan akan ada orang jahat yang tega memalak dananya. ***
Dimuat di Kompas, 3 Maret 2015
Sumber : http://www.bincangedukasi.com/
Sumber : http://www.bincangedukasi.com/
No comments:
Post a Comment