14 June 2011

Runtuhnya Budaya Jujur


Metro TV, Sabtu, 11 Juni 2011 19:55 WIB
KITA semua pasti ikut merasa prihatin atas nasib yang dialami siswa sekolah dasar AL dan kedua orangtuanya Siami serta Widodo. Karena sikap jujur mereka untuk menyatakan ketidakbenaran atas pelaksanaan ujian nasional, malah mereka akhirnya dinyatakan bersalah.


Orangtua AL dianggap mencoreng nama baik sekolah. Para orangtua yang lain menyalahkan orangtua AL yang mempersoalkan adanya permintaan guru sekolah yang memerintahkan AL membagi jawaban ujian nasional kepada murid-murid yang lain.

Ini persoalan mendasar yang tidak bisa dianggap enteng. Betapa nilai-nilai kejujuran sudah begitu terpuruknya pada bangsa ini. Kita tidak lagi bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk.

Nilai sepertinya sudah terbalik-balik pada bangsa ini. Orang yang salah bisa menjadi benar, sementara orang yang benar bisa dianggap salah. Itu bukan hanya terjadi pada kasus di Gadelsari Barat, Surabaya, tetapi sudah menjadi praktik umum yang kita lihat setiap hari.

Ketika kita sedang berada dalam kekuasaan, seringkali kita tidak menangkap ketidakadilan seperti itu. Seakan-akan itu hanya sebuah persoalan kecil yang tidak penting dan tidak memiliki makna apa pun. Namun ketika kemudian merasakan sendiri ketidakadilan itu, maka bisa terasalah arti sebuah kebaikan, arti sebuah kebenaran, arti sebuah kejujuran.

Itulah yang pasti dirasakan oleh Adang Daradjatun. Ketika masih menjabat sebagai polisi, menjadi Wakil Kepala Kepolisian RI, ia tidak terlalu peduli atas ketidakadilan yang terjadi. Ketika para pelaku korupsi kabur ke luar negeri, tidak terdorong keinginan untuk memerintahkan anggota polisi untuk menangkap mereka.

Kini ia merasa ketidakadilan itu, ketika istrinya Nunun Nurbaeti dipersangkakan ikut terlibat dalam kasus suap pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Adang berteriak keras ketika istrinya ditetapkan sebagai tersangka, dicabut paspornya, dan dimintakan kepada Interpol untuk ditangkap.

Dalam wawancaranya dengan Metrotv, Adang tidak bisa menerima atas ketidakadilan yang ia rasakan. Bagaimana istrinya ditetapkan sebagai tersangka dan dicabut paspornya, sementara begitu banyak koruptor yang kabur ke luar negeri sejak bertahun-tahun lalu, namun hingga kini tidak pernah juga dicabut paspornya.

Adang menegaskan bahwa dirinya tidak akan tinggal diam. Meski bukan dalam arti melakukan perlawanan total, dirinya akan membuka semua ketidakberesan yang terjadi. Ia tidak akan membiarkan istrinya dijadikan korban dari sebuah ketidakbenaran.

Adang beruntung masih tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera. Sebagai polisi bintang tiga, pasti masih banyak anggota polisi yang akan membantu dirinya melawan ketidakadilan itu.

Namun tidak demikian nasibnya Saimi dan Widodo. Mereka bukanlah siapa-siapa. Mereka hanya rakyat biasa yang mencoba menegakkan nilai kejujuran. Namun ia harus tersingkir dari lingkungannya, yang tidak bisa menerima sikap jujurnya.

Adakah orang yang membela Saimi dan Widodo? Adakah mereka yang peduli terhadap AL? Tidak ada sama sekali. Mereka dibiarkan menghadapi kejamnya kehidupan di tengah bangsa yang sedang kehilangan nilai kebaikan.

Seharusnya pemerintah tampil untuk menggunakan momentum ini mengajarkan kembali pentingnya arti sebuah kejujuran, pentingnya sebuah keadilan. Tampil untuk menjadikan sosok Saimi dan Widodo sebagai simbol kejujuran, bukan malah membiarkan mereka menjadi korban dari ketidakbenaran.

Bahkan Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, Gubernur Jawa Timur, Wali Kota Surabaya seharusnya bersimpati kepada nasib yang dialami Saimi dan Widodo. Bukan hanya duduk diam, menonton ketidakbenaran itu terus terjadi, sehingga tidak ada pembelajaran yang bisa dipetik oleh bangsa ini.

Ketika semua pemimpin diam, maka orang tidak akan berani untuk bicara kebenaran, bicara kejujuran. Mereka akan menelan semua ketidakbenaran itu, kalau pun dirasakan bertentangan dengan nilai kebajikan yang mereka yakini. Sebab, ternyata bicara kebenaran, bicara kejujuran di negeri ini malah dianggap sebagai sebuah kesalahan.

Ketika memberikan kuliah di depan generasi muda, sebenarnya ada pelajaran berharga yang diberikan Presiden. Bahwa sebagai pemimpin kita tidak boleh berkompromi untuk hal-hal yang prinsipiil seperti dalam hal etika atau nilai-nilai. Yang boleh dikompromikan hanyalah taktik atau strategis dalam mencapai tujuan.

Kasus AL, Saimi, dan Widodo seharusnya dipakai untuk melaksanakan kebajikan yang disampaikan. Saimi dan Widodo merupakan sosok langka di negeri yang hanya berorientasi kepada hasil, tanpa memedulikan proses. Saimi dan Widodo mengajarkan kepada kita semua bahwa kejujuran itu masih ada di negeri ini.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Scholarship Information :

Posting Terkini di e-Newsletter Disdik :

Arsitektur today :